Toraja
Goes to The World Cultural Heritage
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang sangat kaya akan kebudayaan. Terdapat kurang
lebih 1.128 suku yang tersebar di seluruh penjuru negri Indonesia.
Masing-masing suku memiliki keunikan yang menjadi daya tarik bagi wisatawan,
baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan dari luar negeri. Salah satu suku
yang banyak mengundang wisatawan untuk datang adalah suku Toraja. Banyak
keunikan yang ditawarkan oleh suku Toraja sehingga membuat suku ini dikenal
oleh dunia. Yuk, kita kenalan dengan suku ini lebih dalam.
Suku Toraja
adalah suku yang terletak di Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara,
awalnya Kabupaten ini adalah satu kesatuan dari Kabupaten Tana Toraja tetapi
karena perkambang penduduk yang begitu pesat maka Kabupaten ini dikembangkan
menjadi Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Suku Toraja adalah
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 diantaranya masih
tinggal di Kabupaten
Tana Toraja,Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian lainnya menganut Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo yang kemudian diakui pemerintah sebagai
bagian dari agama Hindu Dharma.
Banyak sekali hal menarik yang
dimiliki oleh suku Toraja dan yang patut kita ketahui. Tapi sebelum itu tentunya
kita harus mengenal terlebih dahulu rumah adat suku Toraja, jangan sampai
ketika kita berkunjung ke Toraja malah heran kok ada perahu di atas rumah? hehehe.
Rumah adat suku Toraja adalah
Tongkonan. Tongkonan
berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam,
dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja “tongkon” yang artinya adalah duduk dan merupakan
pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan Tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan
mereka dengan leluhur mereka. Menurut
cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang.
Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan
menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Terdapat tiga jenis Tongkonan di
Toraja yaitu Tongkonan Layuk yang merupakan tempat kekuasaan tertinggi, yang
digunakan sebagai pusat "pemerintahan", Tongkonan Pekamberan yang
adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di Tongkonan
Batu. Sayangnya, eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang
seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di
daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu
membangun tongkonan yang besar. Jika ingin mengenal lebih jauh lagi tentang kebudayaan toraja, jangan lupa mengunjungi halaman ini yaa http://www.torajabercerita.com/
Kesenian suku Toraja
Selain rumah adata, potensi besar untuk menjadikan Toraja menuju
pada The World Cultural Heritage terletak pada kesenian-kesenian seperti lagu
daerah dan tari-tariannya
Tana Toraja
mengenal ritual rambu tuka’ ( aluk rampe matallo) dan rambu solo’ ( aluk rampe
matampu’). Kebiasaan- kebiasaan rambu tuka’ dan rambu solo’ yang terpelihara
secara turun temurun disebut adat istiadat. Lakon ritual Aluk Todolo
(kepercayaan orang dulu) dalam menaikkan aturan keagamaan yang berwujud pada
pemujaann terhadap Puang Matua, Dewata maupun To Membali Puang, banyak
dimanifetasikan dalam bentuk seni traditional seperti seni tari, seni suara,
seni musik, seni sastra tutur, seni ukir dan seni pahat. Musik dan tarian yang
ditampilkan pada upacara rambu tuka’,tidak boleh (tabu) ditampilkan pada
upacara rambu solo’. Ada juga jenis kesenian yang boleh dipentaskan pada
upacara kegembiraan maupun upacara kedukaan, dan hampir semua ragam seni yang
dipentaskan tersebut merupakan perpaduan antara nyanyian dan tarian.
Tari-Tarian
Suku Toraja memiliki banyak jenis tari-tarian, yakni:
1. Tarian Manimbong : tarian yang
dilakukan oleh beberapa pria yang memakai kain adat maa’ dan menggunakan
parang-parang antik dan ikat kepala yang terbuat dari bulu-bulu ayam.
2. Tarian Pa’bondesan : tarian yang
dibawakan oleh beberapa pria dan tidak memakai baju kecuali selama adat khusus.
Para penari memakai kuku tiruan dan diiringi oleh suling
3. Tarian Ma’Gellu : Tarian yang paling
terkenal dari Toraja. Penarinya berasal dari beberapa remaja putri yang
menggunakan pakaian khusus penari dan perhiasan emas antik. Tarian ini
dibawakan pada upacara kegembiraan seperti pada pesta panen, pesta perkawinan
dan menyambut tamu.
4. Tarian Ma’dandan: Tarian yang dibawakan beberapa wanita yang
berpakaian putih dan memakai sejenis hiasan kepala yang menyerupai atap depan
rumah (biasa disebut Sa’pi). Para penari bergerak lemah lunglai menggoyangkan
tongkat mengikuti irama tari dan nyanyian
5. Tarian Pa’ Bonebala : Tarian yang
hampir sama dengan tarian Pa’Gellu. Yang membedakan hanya lagu dan ritme
gendangnya
6. Tarian Manganda : Tarian yang
dibawakan oleh sekelompok lelaki yang menggunakan tanduk kerbau dikepala dan
dihiasi uang logam dan menggunakan semacam bel yang berdering-dering
diiringi teriakan.
7. Tarian Dao Bulan : Tarian yang
dibawakan beberapa remaja putri dan dimainkan secara massal pada upacara panen
atau menyambut tamu
8. Tarian Ma’katia : Tarian duka
tradisional untuk menyambut tamu pada upacara pemakaman golongan bangsawan.
Para penari memakai pakaian seragam dengan topi kepala (sa’pi).
9. Tarian Ma’randing : tarian untuk
menjemput dan mengatur pahlawan perang yang akan pergi medan perang atau
dari media pertempuran. Para penari memakai perisai dan tanduk kuningan di
kepala. Sekarang ini digunakan untuk upacara pemakaman orang bangsawan untuk
menyambut rombongan tamu
10. Tarian Ma’parando : Tarian yang dilakukan
di acara kedukaan. Jika ada seseorang meninggal dunia dan mempunyai cucu dua
lapis maka sewaktu penguburannya, semua cucu perempuan dinaikkan diatas bahu
laki-laki dibawa keliling rumah tempat upacara pemakaman diadakan. Para gadis
remaja berpakaian adat lengkap dan diterangi obor pada malam hari.
11. Tarian Ma’badong : Tarian yang
dilakukan di acara kedukaan dimana para penari membuat lingkaran dengan pakaian
hitam atau bebas. Tarian ini biasanya berlangsung semalam suntuk dan bisa
dilakukan oleh para pria dan wanita. Para penari menggunakan berbagai
jenis langkah dan lagu silih berganti. Biasanya tarian ini dibawakan untuk
acara pemakaman yang berlangsung tiga malam ke atas.
12. Tarian Ma’dondi : Tarian pada
upacara pemakaman dan kata-kata yang digunakan pada tarian Ma’dondi sama dengan
Ma’badong tapi beda iramanya.
13. Tarian Pa’papangan : Tarian
penjemputan tamu yang dilakukan oleh gadis berpakaian lengkap dan diiringi suling
dan lagu duka (Pa’marakka)
14. Tarian Memanna : Tarian
yang dibawakan di acara pemakaman orang yang mati karena dibunuh. Para penari
berasal dari laki-laki, berpakaian compang-camping dari tikar robek, ikat
kepala dari rumput, senjata dari bambu, perisal dari pelepah pinang atau kulit
batang pisang.
Seni
Musik
Selain tari-tarian
yang banyak dan unik, di Suku Toraja
juga mempunya banyak alat musik tradisional yang tak kalah dari daerah lain,
seperti:
1.
Passuling
:Seruling
tradisional Toraja, yang juga dikenal dengan nama “Suling Lembang”. Seruling
dimainkan oleh kelompok laki-laki untuk mengiringi lantunan lagu “Pa’Marakka”
atau lagu duka yang dinyanyikan oleh para wanita dalam menyambut tamu, yang
hadir untuk menyampaikan rasa duka mereka kepada keluarga yang sedang berduka.
2.
Pa’pelle/Pa’barrung : Jenis alat musik ini sangat digemari anak-anak
gembala menjelang menguningnya sawah. Sebuah alat musik yang terlihat seperti
terompet, terbuat dari jerami yang dirakit dengan daun kelapa. Biasanya
dimainkan selama upacara pengucapan syukur setelah menyelesaikan pembangunan
rumah Tongkonan.
3.
Pa’pompang/Pa’bas : sebuah orkestra bambu yang dimainkan oleh
murid-murid SD dan SMP dibawah pimpinan dirigen. Biasanya alat musik ini
ditampilkan selama upacara nasional, seperti Hari Kemerdekaan, ulang tahun
kota, dan festival nasional. Para murid memainkan lagu-lagu kontemporer, lagu
daerah, dan lagu gereja.
4. Pa’karombi : Alat musik
dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang disentak-sentak pada bibir
sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.
5.
Pa’tulali
: Sebuah alat
musik bambu berukuran kecil yang dimainkan dengan cara ditiup untuk
menghasilkan suara yang indah.
6. Pa’geso’geso’ : Sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan batok
kelapa dengan senar.
Budaya Toraja
Adat-istiadat yang telah diwarisi
masyarakat Toraja turun – temurun dalam bentuk rambu tukaa’ dan rambu solo’
mewajibkan keluarga yang tinggal menyelenggarakan sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi selamanya (Aluk Rampe
Matampu’ atau Mammaran Mata). Ungkapan mammaran mata oleh etnis Toraja
dinyatakan sebagai berikut :
“To
na indanriki’ lino, To na pake sangattu’, Kunbai lau’ ri Puyo, Pa’tondokan
marendengg.” Artinya, kita hanyalah pinjaman dunia dan dipakai untuk
sementara. Sebab, di Puyo-lah negeri kita yang kekal. Dalam pelaksanaannya,
sesuai aturan aluk dan adat, upacara rambu solo’ terbagi dalam beberapa
tingkatan yang mengacu pada strata social masyarakat Toraja, yakni:
1. Ma’silli’,
yaitu ketika seseorang, biasanya bayi atau kauanan tai manuk meninggal, pasa
saat itu juga langsung dikubur. Biasanya seekor anjing dan seekor babi dipotong
sebagai kurban kedukaan dan diusung bersama mayat kekuburan. Dipiong (dimasak
dalam bamboo) di kuburan, lalu dimakan ramai-ramai, tetapi tidak boleh (pemali)
dibawa pulang ke rumah siapa pun. Passiliran ini ada yang dilakukan di batang
pohon.
2. Dipasangbongi,
yakni upacara kedukaan yang hanya dilaksanakan dalam satu hari dan satu malam.
Acara dimulai pada hari ini, keesokan harinya sang mediang harus dikubur dengan
kurban sejumlah ekor babi dan satu ekor kerbau.
3. Dipatallungbongi
yaitu upacara kedukaan yang berlangsung
selama tiga hari tiga malam disertai pemotongan hewan (babi dan kerbau) da nada
ma’badong pada malam hari (hari kedua dan hari ketiga).Umumnya upacara ini
dilakukan oleh bangsawan menengah atau bangsawan
4. Dipalimangbongi
yakni upacara kedukaan yang berlangsung selama lima hari lima malam
berturut-turut. Setiap hari ada pemotongan hewan (sejumlah babi dan kerbau).
Ada ma’badong pada malam hari.
5. Dipapitungbongi
yaitu upacara kedudukan yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malamm. Tiap
hari ada peotongan hewan (sejumlah babi dan kerbau) dan pada malam hari ada
acara ma’badong.
6. Dirapa’i
atau ma’rapa’I merupakan upacara tertinggi dan masih ada tingkat-tingkatannya.
Biasanya dilaksanakan dua kali dengan rentang wktu sekurang-kurangnya setahun.
Upacara yang pertama disebut (a) Aluk pia. Biasanya dalam pelaksanaannya
bertempat di sekitar tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan upacara kedua
yakni upacar (b) Rante, biasanya dilaksanakan di sebuah lapangan khusus sebagai upacara puncak. Dari prosesi pemakaman
ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti
ma’tundan, ma’balun (membalut jenazah), ma’roto (membubuhkan ornament dari
benang emas dan perak pada peti jenazah), ma’popengkalo alang (menurunkan
jenazah dari tongkonan ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terakhir
ma’palao (yakni mengusung jenazah ke tempat perirtirahatan yang terakhir).
Selain
ritual-ritual adat tersebut ternyata masih ada hal-hal yang unik dalam upacara
ini :
1. Ma’pasilaga
tedong (adu kerbau).Kerbau di Tana Toraja memiliki ciri yang mungkin tidak
dapat ditemukan di daerah lain. Mulai dari yang memiliki tanduk bengkok ke
bawah sampai dengan kerbau berkulit belang (tedong bonga atau saleko). Tedong
bonga di Toraja sangat tinggi harganya, yakni mencapai puluhan juta rupiah.
2. Siemba’
(adu kaki ) antara pria, terutama anak remaja. Tari-tarian yang berkaitan
dengan ritus rambu solo’ seperti pa’badong, pa’dondi’, pa’randing, pa’katia,
pa’papangngan, passailo’ dan pa’pasilaga tedong.
3. Ma’tinggoro
Tedong, Pemotongan kerbau (ma’tinggoro tedong) dengan ciri khas masyarakat
Toraja, yakni sekali tebas dengan sebila parang pada leher kerbau yang
ditambatkan pada sebuah upacara rambu
solo’, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang
sekaligus menandakan selesainya upacara rambu solo’.
Bagaimana pendapat anda setelah berkenalan dengan
Suku Toraja? Apakah layak dan pantas menjadi The World Cultural Heritage? Tentunya
anda akan berpendapat bahwa suku Toraja layak karena memiliki ragam budaya dan aktivitas masyarakat yang sangat unik dan
sangat asing kebudayaan ini di mata dunia.
Keindahan alam Indonesia sungguh sangatlah indah
dengan barbagai macam suku, ras, budaya, dan agama sehingga nampaklah bahwa
Indonesia adalah Negara yang mempunyai Pariwisata yang sangat indah dan sangat
layak menjadi suatu Pariwisata yang mendunia. Tentunya kita sebagai masyarakat
Indonesia akan selalu menjaga, melindungi, dan merawat negeri kita janagn
sampai hal-hal yang buruk mewarnai negeri kita tetapi biaralah negeri kita ini
menjadi negeri yang aman, nyaman, tentram, sejahtera, dan terus mengembangkan
potensi-potensi yang dapat membawa Negara kita menjadi lebih baik di mata dunia
internasional. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca artikel ini
semoga bermanfaat untuk kita. Tuhan memberkati :)
2. Buku Aluk, Adat, Dan Adat
Istiadat Toraja ( Frans B. Palebangan)
Toraja
Goes to The World Cultural Heritage
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang sangat kaya akan kebudayaan. Terdapat kurang
lebih 1.128 suku yang tersebar di seluruh penjuru negri Indonesia.
Masing-masing suku memiliki keunikan yang menjadi daya tarik bagi wisatawan,
baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan dari luar negeri. Salah satu suku
yang banyak mengundang wisatawan untuk datang adalah suku Toraja. Banyak
keunikan yang ditawarkan oleh suku Toraja sehingga membuat suku ini dikenal
oleh dunia. Yuk, kita kenalan dengan suku ini lebih dalam.
Suku Toraja
adalah suku yang terletak di Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara,
awalnya Kabupaten ini adalah satu kesatuan dari Kabupaten Tana Toraja tetapi
karena perkambang penduduk yang begitu pesat maka Kabupaten ini dikembangkan
menjadi Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Suku Toraja adalah
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 diantaranya masih
tinggal di Kabupaten
Tana Toraja,Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian lainnya menganut Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo yang kemudian diakui pemerintah sebagai
bagian dari agama Hindu Dharma.

Kesenian suku Toraja
Selain rumah adata, potensi besar untuk menjadikan Toraja menuju
pada The World Cultural Heritage terletak pada kesenian-kesenian seperti lagu
daerah dan tari-tariannya
Tana Toraja
mengenal ritual rambu tuka’ ( aluk rampe matallo) dan rambu solo’ ( aluk rampe
matampu’). Kebiasaan- kebiasaan rambu tuka’ dan rambu solo’ yang terpelihara
secara turun temurun disebut adat istiadat. Lakon ritual Aluk Todolo
(kepercayaan orang dulu) dalam menaikkan aturan keagamaan yang berwujud pada
pemujaann terhadap Puang Matua, Dewata maupun To Membali Puang, banyak
dimanifetasikan dalam bentuk seni traditional seperti seni tari, seni suara,
seni musik, seni sastra tutur, seni ukir dan seni pahat. Musik dan tarian yang
ditampilkan pada upacara rambu tuka’,tidak boleh (tabu) ditampilkan pada
upacara rambu solo’. Ada juga jenis kesenian yang boleh dipentaskan pada
upacara kegembiraan maupun upacara kedukaan, dan hampir semua ragam seni yang
dipentaskan tersebut merupakan perpaduan antara nyanyian dan tarian.
Tari-Tarian
Suku Toraja memiliki banyak jenis tari-tarian, yakni:
1. Tarian Manimbong : tarian yang
dilakukan oleh beberapa pria yang memakai kain adat maa’ dan menggunakan
parang-parang antik dan ikat kepala yang terbuat dari bulu-bulu ayam.

3. Tarian Ma’Gellu : Tarian yang paling
terkenal dari Toraja. Penarinya berasal dari beberapa remaja putri yang
menggunakan pakaian khusus penari dan perhiasan emas antik. Tarian ini
dibawakan pada upacara kegembiraan seperti pada pesta panen, pesta perkawinan
dan menyambut tamu.
4. Tarian Ma’dandan: Tarian yang dibawakan beberapa wanita yang
berpakaian putih dan memakai sejenis hiasan kepala yang menyerupai atap depan
rumah (biasa disebut Sa’pi). Para penari bergerak lemah lunglai menggoyangkan
tongkat mengikuti irama tari dan nyanyian
5. Tarian Pa’ Bonebala : Tarian yang
hampir sama dengan tarian Pa’Gellu. Yang membedakan hanya lagu dan ritme
gendangnya
6. Tarian Manganda : Tarian yang
dibawakan oleh sekelompok lelaki yang menggunakan tanduk kerbau dikepala dan
dihiasi uang logam dan menggunakan semacam bel yang berdering-dering
diiringi teriakan.
7. Tarian Dao Bulan : Tarian yang
dibawakan beberapa remaja putri dan dimainkan secara massal pada upacara panen
atau menyambut tamu
8. Tarian Ma’katia : Tarian duka
tradisional untuk menyambut tamu pada upacara pemakaman golongan bangsawan.
Para penari memakai pakaian seragam dengan topi kepala (sa’pi).
9. Tarian Ma’randing : tarian untuk
menjemput dan mengatur pahlawan perang yang akan pergi medan perang atau
dari media pertempuran. Para penari memakai perisai dan tanduk kuningan di
kepala. Sekarang ini digunakan untuk upacara pemakaman orang bangsawan untuk
menyambut rombongan tamu
10. Tarian Ma’parando : Tarian yang dilakukan
di acara kedukaan. Jika ada seseorang meninggal dunia dan mempunyai cucu dua
lapis maka sewaktu penguburannya, semua cucu perempuan dinaikkan diatas bahu
laki-laki dibawa keliling rumah tempat upacara pemakaman diadakan. Para gadis
remaja berpakaian adat lengkap dan diterangi obor pada malam hari.
11. Tarian Ma’badong : Tarian yang
dilakukan di acara kedukaan dimana para penari membuat lingkaran dengan pakaian
hitam atau bebas. Tarian ini biasanya berlangsung semalam suntuk dan bisa
dilakukan oleh para pria dan wanita. Para penari menggunakan berbagai
jenis langkah dan lagu silih berganti. Biasanya tarian ini dibawakan untuk
acara pemakaman yang berlangsung tiga malam ke atas.
12. Tarian Ma’dondi : Tarian pada
upacara pemakaman dan kata-kata yang digunakan pada tarian Ma’dondi sama dengan
Ma’badong tapi beda iramanya.
13. Tarian Pa’papangan : Tarian
penjemputan tamu yang dilakukan oleh gadis berpakaian lengkap dan diiringi suling
dan lagu duka (Pa’marakka)
14. Tarian Memanna : Tarian
yang dibawakan di acara pemakaman orang yang mati karena dibunuh. Para penari
berasal dari laki-laki, berpakaian compang-camping dari tikar robek, ikat
kepala dari rumput, senjata dari bambu, perisal dari pelepah pinang atau kulit
batang pisang.
Seni
Musik

1.
Passuling
:Seruling
tradisional Toraja, yang juga dikenal dengan nama “Suling Lembang”. Seruling
dimainkan oleh kelompok laki-laki untuk mengiringi lantunan lagu “Pa’Marakka”
atau lagu duka yang dinyanyikan oleh para wanita dalam menyambut tamu, yang
hadir untuk menyampaikan rasa duka mereka kepada keluarga yang sedang berduka.
2.
Pa’pelle/Pa’barrung : Jenis alat musik ini sangat digemari anak-anak
gembala menjelang menguningnya sawah. Sebuah alat musik yang terlihat seperti
terompet, terbuat dari jerami yang dirakit dengan daun kelapa. Biasanya
dimainkan selama upacara pengucapan syukur setelah menyelesaikan pembangunan
rumah Tongkonan.
3.
Pa’pompang/Pa’bas : sebuah orkestra bambu yang dimainkan oleh
murid-murid SD dan SMP dibawah pimpinan dirigen. Biasanya alat musik ini
ditampilkan selama upacara nasional, seperti Hari Kemerdekaan, ulang tahun
kota, dan festival nasional. Para murid memainkan lagu-lagu kontemporer, lagu
daerah, dan lagu gereja.
4. Pa’karombi : Alat musik
dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang disentak-sentak pada bibir
sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.
5.
Pa’tulali
: Sebuah alat
musik bambu berukuran kecil yang dimainkan dengan cara ditiup untuk
menghasilkan suara yang indah.
6. Pa’geso’geso’ : Sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan batok
kelapa dengan senar.
Budaya Toraja

“To
na indanriki’ lino, To na pake sangattu’, Kunbai lau’ ri Puyo, Pa’tondokan
marendengg.” Artinya, kita hanyalah pinjaman dunia dan dipakai untuk
sementara. Sebab, di Puyo-lah negeri kita yang kekal. Dalam pelaksanaannya,
sesuai aturan aluk dan adat, upacara rambu solo’ terbagi dalam beberapa
tingkatan yang mengacu pada strata social masyarakat Toraja, yakni:
1. Ma’silli’,
yaitu ketika seseorang, biasanya bayi atau kauanan tai manuk meninggal, pasa
saat itu juga langsung dikubur. Biasanya seekor anjing dan seekor babi dipotong
sebagai kurban kedukaan dan diusung bersama mayat kekuburan. Dipiong (dimasak
dalam bamboo) di kuburan, lalu dimakan ramai-ramai, tetapi tidak boleh (pemali)
dibawa pulang ke rumah siapa pun. Passiliran ini ada yang dilakukan di batang
pohon.
2. Dipasangbongi,
yakni upacara kedukaan yang hanya dilaksanakan dalam satu hari dan satu malam.
Acara dimulai pada hari ini, keesokan harinya sang mediang harus dikubur dengan
kurban sejumlah ekor babi dan satu ekor kerbau.
3. Dipatallungbongi
yaitu upacara kedukaan yang berlangsung
selama tiga hari tiga malam disertai pemotongan hewan (babi dan kerbau) da nada
ma’badong pada malam hari (hari kedua dan hari ketiga).Umumnya upacara ini
dilakukan oleh bangsawan menengah atau bangsawan
4. Dipalimangbongi
yakni upacara kedukaan yang berlangsung selama lima hari lima malam
berturut-turut. Setiap hari ada pemotongan hewan (sejumlah babi dan kerbau).
Ada ma’badong pada malam hari.
5. Dipapitungbongi
yaitu upacara kedudukan yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malamm. Tiap
hari ada peotongan hewan (sejumlah babi dan kerbau) dan pada malam hari ada
acara ma’badong.
6. Dirapa’i
atau ma’rapa’I merupakan upacara tertinggi dan masih ada tingkat-tingkatannya.
Biasanya dilaksanakan dua kali dengan rentang wktu sekurang-kurangnya setahun.
Upacara yang pertama disebut (a) Aluk pia. Biasanya dalam pelaksanaannya
bertempat di sekitar tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan upacara kedua
yakni upacar (b) Rante, biasanya dilaksanakan di sebuah lapangan khusus sebagai upacara puncak. Dari prosesi pemakaman
ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti
ma’tundan, ma’balun (membalut jenazah), ma’roto (membubuhkan ornament dari
benang emas dan perak pada peti jenazah), ma’popengkalo alang (menurunkan
jenazah dari tongkonan ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terakhir
ma’palao (yakni mengusung jenazah ke tempat perirtirahatan yang terakhir).
Selain
ritual-ritual adat tersebut ternyata masih ada hal-hal yang unik dalam upacara
ini :
1. Ma’pasilaga
tedong (adu kerbau).Kerbau di Tana Toraja memiliki ciri yang mungkin tidak
dapat ditemukan di daerah lain. Mulai dari yang memiliki tanduk bengkok ke
bawah sampai dengan kerbau berkulit belang (tedong bonga atau saleko). Tedong
bonga di Toraja sangat tinggi harganya, yakni mencapai puluhan juta rupiah.
2. Siemba’
(adu kaki ) antara pria, terutama anak remaja. Tari-tarian yang berkaitan
dengan ritus rambu solo’ seperti pa’badong, pa’dondi’, pa’randing, pa’katia,
pa’papangngan, passailo’ dan pa’pasilaga tedong.

Bagaimana pendapat anda setelah berkenalan dengan
Suku Toraja? Apakah layak dan pantas menjadi The World Cultural Heritage? Tentunya
anda akan berpendapat bahwa suku Toraja layak karena memiliki ragam budaya dan aktivitas masyarakat yang sangat unik dan
sangat asing kebudayaan ini di mata dunia.
Keindahan alam Indonesia sungguh sangatlah indah
dengan barbagai macam suku, ras, budaya, dan agama sehingga nampaklah bahwa
Indonesia adalah Negara yang mempunyai Pariwisata yang sangat indah dan sangat
layak menjadi suatu Pariwisata yang mendunia. Tentunya kita sebagai masyarakat
Indonesia akan selalu menjaga, melindungi, dan merawat negeri kita janagn
sampai hal-hal yang buruk mewarnai negeri kita tetapi biaralah negeri kita ini
menjadi negeri yang aman, nyaman, tentram, sejahtera, dan terus mengembangkan
potensi-potensi yang dapat membawa Negara kita menjadi lebih baik di mata dunia
internasional. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca artikel ini
semoga bermanfaat untuk kita. Tuhan memberkati :)
2. Buku Aluk, Adat, Dan Adat
Istiadat Toraja ( Frans B. Palebangan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar